Selasa, Oktober 26, 2010

Satu bagian kecil saja mengenai film Avatar Pandora vs Anak Bajang Menggiring Angin

Satu bagian kecil saja mengenai film Avatar Pandora vs Anak Bajang Menggiring Angin
by Danang Kurniawan on Tuesday, October 26, 2010




Rasa takjub saya akan kekayaan yang diusung oleh Film Avatar Pandora sungguhlah menjadi bukti akan kerja keras, inovasi, air mata, tak kalah fantastis adalah filosofinya yang mendalam akan hal aktual pada masanya. Avatar Pandora, adalah salah satu film berwawasan “prihatin akan alam” pada penghujung tahun 2009 lalu. Ijinkan saya memungut satu bagian kecil saja dari padanya.Ide tulisan ini akan saya sandingkan dengan buku tiada duanya ihwal bahasa sastra yang sangat erat dengan budaya Jawa, Anak Bajang Menggiring Angin karya seorang filsuf matang yang sarat pesan kehidupan, Sindhunata. Hal ini dikarenakan, ketika nonton film Avatar di gereja, saya sedang menyelesaikan bacaan dahsyat itu. Dalam kisah bijaksana buku Anak Bajang Menggiring Angin, yang kita kenal sebagai kisah wayang dilukiskan secara dramatis simbolis demikian; Ketika terjadi krisis [masa di mana kondisi dapat berubah dengan mudah] di kahyangan “anak-anak bajang berlari-larian dari utara membawa tempurung bocor di tangan, hendak menguras samudera raya, dari selatan nampak anak-anak bajang menggenggam sebatang lidi jantan ingin menyapu jagad raya, mereka bertubrukan dan gelap gulitalah dunia” [sindhunata, 1995]. Ini adalah simbol yang sangat dramatis, mampu menyihir kita yang terlena oleh bayangan indahnya kahyangan dengan kemuliaan para dewa. Ya, yang dramatis itulah sanggup membangunkan relung hati kita akan kepekaan, kepakaan akan simbol yang disajikan. Simbol adalah benda ingat-ingatan, jembatan penuh dengan bunga warna-warni kebahagiaan maupun bunga kamboja yang sarat derita itu sanggup membawa dua dimensi menjadi saling akrab berjumpa di atas jurang waktu yang sangat silam, di mana sebuah simbol itu diletakkan di antara kedua masa berjauhan itu.

Betapa penting arti simbol [Yun : sym = sama, ballo = melempar] sehingga peristiwa keimananan yang ada pada masa silam sanggup dihantar kepada para umat di masa kini, dan setiap insan percaya [umat] juga sanggup hadir di masa-masa sakral pada kisah-kisah yang tertulis pada setiap kitab suci milik umat beragama. Pada iman Kristen : Kristus yang menderita dan mati di kayu salib itu sanggup hadir di tengah-tengah jemaat pada kebaktian Minggu, serentak umat yang hadir pada ibadah juga seolah terlempar di Bukit Golgota di mana Dia Sang Penebus itu memabayar lunas dosa manusia. Kayu salib di ruang ibadah itulah jembatannya.

Apa bedanya simbol dengan tanda? Tanda tidak membutuhkan keterlibatan emosi pada pelaku penghayat benda itu. Traffict Light yang sedang menyala merah, tidak peduli sedang sedih maupun gembira, para pengendara harus berhenti [Rasid Rachman, 2005]. Berbeda dengan simbol, pemuda [i] bisa saja menangis ketika menatap sepeda motor Kaze R yang pernah dinaikinya berbonceng dengan kekasih yang sudah dipisahkan darinya. Pada dirinya motor Kaze R itu [yang pada orang lain tidak memberikan arti apa-apa] mampu menjadi simbol, namun bagi orang lain, hanya benda yang mati dan beku saja. Sangat subjektif. Itulah simbol.

Adakah simbol pada film Avatar? Suku Oticamaya juga sangat menghomati pohon Eywa, pohon yang dipercaya sebagai Ibu pertiwi itu menjadi sangat sakral bagi mereka, namun tidak bagi manusia [Colonel Miles Quarrich] yang meprihatinkan itu. Mereka hanya berburu bongkahan Uboptanium [sumber energy yang konon perkilonya seharga 20juta dolar AS. Sumber kehidupan bagi bangsa Na’vi itu dihanguskan oleh ketamakan [greed] yang menggelayuti bala tentara yang menyerbunya dengan hati dingin dan sadis. Bukan karena kebutuhan [need] akan energy, melainkan sudah menjadi ketamakan dengan menyingkirkan kehidupan yang ditopangnya. Peristiwa ini adalah lukisan yang berhasil diramu oleh James Cameron yang menutup blantika sinema dunia 2009 dengan terobosan teknologi yang fantastis. Ini adalah presentasi mengenai manusia di era millennium ketiga ini. Di mana banyak manusia, bahkan para religius tidak peka akan alam, alam yang dicipta sangat baik oleh Sang Kaliq telah tercerabut keindahannya oleh tangan-tangan manusia berhati lupus itu. Mengapa demikian? Jika kita cermati sedikit mendalam, kita akan menemukan kegagalan manusia yang mulai tak sanggup melihat Dhalang di balik alam ini. Bagi saya pribadi, alam adalah simbol di mana peristiwa penciptaan agung itu mampu hadir pada zaman ini, dan saya seolah hadir di mana alam ini seharusnya masih alamiah ketika dibangun Allah sendiri. Dari setiap yang ada di muka bumi ini, biarlah setiap yang hidup itu menjadi simbol dari “Dhalang” yang dibelakangnya. Kembali pada pertanyaan, “mengapa manusia mulai tidak peka akan “Yang di baik layar” itu?

Dahulu kala, para animis, penganut kepercayaan kuno sangat dekat dengan alam. Bagi mereka, alam bukan hanya tanda, melainkan simbol dari yang ilahi. Ada kekuatan yang menjadikan mereka gentar, hormat dan tak memiliki keberanian untuk menyentuh dan merusaknya. Mereka sangat patuh pada “yang di balik layar” itu. Hal ini terbukti pada praktek “berdoa sebelum panen, berdoa sebelum menanam, berdoa sebelum menebang, upacara membuka lahan dsb. Kemampuan mereka untuk melihat bahwa sebuah pohon mempunyai “penunggu”, tanah memiliki “nyawa”, batu besar adalah “rumah” merupakan hal misteri pada perasaan mereka. Kemampuan mereka untuk menembus yang multilayered [berlapis-lapis] itu sangat mengagumkan. Entah benar atau tidak, bagi saya mereka sangat seksi dalam mengartikan kekuatan alam. Kesatuan mereka [para animis dan Bangsa Na’vi] dengan alam tetap lebih baik bagi alam dibanding manusia saat ini yang sebagian [besar] sudah kehilangan kemampuan itu.

Apakah kita [manusia modern] ini masih layak disebut “lebih baik” dari mereka? Saya mulai ragu, terutama dengan diri saya sendiri. Kemajuan dalam bidang teknologi, sains dan juga kemampuan rasio, termasuk akal budi kita terkadang justru mencegah kita untuk menghayati alam yang sebenarnya adalah simbol. Simbol di mana kita bisa mengenang bahwa Allah ada di balik alam seluruhnya ini. Kegagalan serupa juga pernah dialami seorang Begawan [kesatria, resi] Wisrawa ketika hendak mewedarkan [menguraikan] Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, di mana dia lupa akan hakekat dirinya sebagai titah. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu bukanlah wedaran budi manusia, melainkan seruan sebuah hati yang merasa tak berdaya, memanggil keilahian untuk meruwatnya. Keagungan Wisrawa yang berhati pandita itu pudar oleh hasratnya kepada Dewi Sukesi, wanita Jelita yang hendak dilamarnya untuk puteranya [Danareja]. Betapa pun halus akal budi Wisrawa sanggup memahami akan hal baik dan buruk yang diajarkannya pada Sukesi atas permintaan wanita jelita ini, saat itulah justru dia kehilangan kerendahan hati dan lupa bahwa Sang Ilahi tak sudi bersatu dengannya yang dilalap kebanggaan akal budinya sendiri. Setelah Batara Guru dan isterinya merasuk pada diri Wisrawa dan Sukesi, jatuhlah mereka pada bara cinta terlarang, calon menantunya justru dirampasnya menjadi ibu tiri dari anaknya, Danareja. Akhirnya nafsu itu menjelma menjadi jabang bayi di rahim Sukesi yang akan lahir berupa raksasa mengerikan, yaitu Rahwana [muasal darah], namun penyesalannya juga menjelma pada Kumbakarna yang bjiak bestari [muasal telinga], dan nafsu Sukesi menjelma sebagai Sarpakenaka, wanita dari muasal kuku yang gemar akan lelaki seumur hidupnya. Sekali lagi Wisrawa tak sanggup melacak Sang Ilahi yang ada di balik Sastra Jendra Hayuning Pangruwating Diyu yang sejatinya adalah simbol akan kesatuan manusia dengan yang ilahi.

Bagaimanakah kita? Apakah kita mampu menimbang-nimbang kembali untuk tidak " menyerang” alam hanya karena keinginan kita akan kebutuhan yang tak pernah terpuaskan itu? Apakah kita masih mampu melihat alam ini sebagai simbol? Simbol di mana Sang Pencipta ada di balik semua titahnya ini? Kemasan menakjubkan dari film Avatar Pandora mengetuk kita untuk melihat kehalusan sekaligus kekuatan alam ciptaan Tuhan ini. Pada sebuah resensi film dari sebuah situs yang saya kutipkan di bawah ini ;

“Saat kita masih merasakan kepakan berkilau dari sayap sayap halus yang seolah memberi tribute pada Hayao Miyazaki, kunang-kunang versi Pandora bergerak perlahan meninggalkan perpektif di balik kacamata 3-D para penonton yang masih terkesima, tiba-tiba kreditasi akhir pada penghujung film hadir memunculkan ribuan nama-nama pendukungnya, Mahatma Gandhi rasanya seperti hadir melalui Dr. Auguste Grace. Dan, melayangkan sepotong kata-katanya yang bijak “Satu bumi cukup untuk semua umat manusia, namun tak pernah cukup bagi segelintir manusia yang serakah".” - Mahatma Gandhi [http://www.antarafoto.com/]

Selamat menghayati Simbol

0 komentar: